TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Kebijakan Kemasan Rokok Polos Bakal Bebani Pemerintahan Prabowo-Gibran

Bakal berpengaruh terhadap penerimaan negara tahun depan

Baliho Prabowo-Gibran yang terpasang di Sragen, Jawa Tengah. (IDN Times/Larasati Rey)

Intinya Sih...

  • Aturan kemasan rokok polos tanpa merek menimbulkan polemik dan protes dari berbagai pihak, dinilai minim kajian dampak sosial dan ekonomi.
  • Kebijakan ini dianggap bertentangan dengan target penerimaan negara dari cukai sebesar 23 persen yang diusung oleh pemerintah baru.
  • Kemasan rokok polos tanpa merek dinilai tidak tepat untuk menekan prevalensi perokok, malah dapat meningkatkan konsumsi ilegal dan jumlah pengangguran berskala besar.

Jakarta, IDN Times - Rencana aturan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertera pada Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan menimbulkan berbagai polemik dan protes keras dari berbagai pihak, terutama dari sektor pertembakauan.

Hal itu lantaran kebijakan tersebut dinilai minim kajian, terutama dampak dari sisi sosial dan ekonomi. Pakar Kebijakan Publik Universitas Airlangga (UNAIR), Gitadi Tegas Supramudyo melihat RPMK yang dirumuskan Kemenkes hanya memakai pendekatan sesuai tugas fungsi kesehatan yang memunculkan banyak resistensi.

Padahal, perumusan kebijakan idealnya perlu memakai pendekatan multidisiplin yang mencakup banyak hal di dalamnya.

“Prediksi saya kebijakan (kemasan rokok polos tanpa merek) ini akan menimbulkan masalah atau polemik karena hanya menggunakan satu perspektif, yaitu kesehatan,” ucap Gitadi dalam pernyataannya, dikutip Senin (30/9/2024)

Baca Juga: Pelaku Usaha Ingatkan Dampak Negatif Kemasan Polos Rokok Elektronik

1. Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek bakal jadi beban Prabowo-Gibran

Presiden terpilih, Prabowo Subianto ketika berbincang dengan wapres terpilih, Gibran Rakabuming Raka. (Dokumentasi media Menhan)

Gitadi menilai, dampak atau beban dari kebijakan aturan kemasan rokok polos tanpa merek ini akan menjadi tugas berat bagi Pemerintahan Prabowo-Gibran.

“Pemerintahan baru akan terpaksa mundur selangkah untuk masalah kemasan rokok polos tanpa merek ini karena harus melakukan pemetaan ulang ‘masalah baru’ yang muncul akibat kebijakan tersebut,” ujar dia.

Aturan kemasan rokok polos tanpa merek juga dinilai bertentangan dengan berbagai target yang diusung oleh pemerintah baru, seperti target penerimaan negara dari cukai (tax ratio) sebesar 23 persen. Kebijakan ini dinilai akan membuat target penerimaan negara dari cukai yang tinggi tersebut menjadi tidak dapat tercapai.

Baca Juga: Cukai Rokok Gak Naik, Kemasan Polos Rokok Jadi Tantangan IHT pada 2025

2. Tidak bisa tekan prevalensi perokok di Indonesia

ilustrasi merokok (IDN Times/Arief Rahmat)

Selain itu, Gitadi menilai kemasan rokok polos tanpa merek bukan solusi tepat untuk menekan prevalensi perokok di Indonesia karena belum tentu mampu menurunkan konsumsi. Gitadi justru khawatir kebijakan tersebut akan meningkatkan peredaran rokok ilegal.

Di sisi lain, kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek dianggap dapat memicu terjadinya penambahan jumlah pengangguran berskala besar.

"Hal ini dikarenakan industri yang terlibat langsung dengan sektor tembakau akan mengalami penurunan pendapatan, hilangnya kesempatan dalam mem-branding suatu produk sehingga posisinya menjadi tidak relevan untuk dipertahankan, hingga berakhir ke pemutusan hubungan kerja (PHK)," tutur Gitadi.

Aturan ini bukannya membuat lapangan kerja meningkat, tetapi justru akan membuat tantangan baru bagi pemerintah baru, utamanya akan semakin menjauhkan target 19 juta lapangan pekerjaan baru yang ditargetkan oleh Pemerintahan Prabowo-Gibran.

Baca Juga: Daftar Orang Terkaya Indonesia Pemilik Usaha Rokok

3. Kemenkes tidak melibatkan stakeholder terkait dalam perumusan kebijakan

Ilustrasi Rokok (IDN Times/Aditya Pratama)

Kebijakan yang diinisiasi Kemenkes ini kemudian dinilai tidak mengacu pada penilaian dampak regulasi yang dibutuhkan untuk menghitung dampak dari suatu peraturan.

Selain itu, dalam proses perumusannya, Kemenkes juga tidak melakukan partisipasi bermakna yang mumpuni untuk membuka ruang diskusi dan mengambil masukan dari berbagai pemangku kepentingan berkaitan dengan aturan tersebut.

“Kemasan rokok polos tanpa merek bukanlah solusi yang tepat karena konsumsi (rokok) akan tetap tinggi. Justru ini akan meningkatkan konsumsi rokok karena akan meningkatkan peredaran rokok ilegal, sehingga berdampak pada matinya rokok bermerek (yang legal) dan bercukai,” ujar Gitadi.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya