TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Faisal Basri: Kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping Tergesa-gesa

Pemerintah mesti kaji ulang kebijakan bea masuk anti dumping

Faisal Basri dalam Diskusi "RAPBN 2024/2025, Modal Pemerintahan Prabowo" by IDN Times di Gedung IDN HQ pada Jumat (16/8/2024). (IDN Times/Jihan A'liifah)

Intinya Sih...

  • Faisal Basri mengkritik kebijakan BMAD karena terkesan terburu-buru dan penuh inkonsistensi.
  • KADI melakukan perubahan drastis pada kajian BMAD setelah Ketua KADI dipecat, menimbulkan kecurigaan.

Jakarta, IDN Times - Ekonom senior Universitas Indonesia (UI), Faisal Basri mengkritik kebijakan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD) melalui kanal YouTube Rhenald Kasali. Menurut Faisal, kebijakan tersebut terkesan seperti upaya ‘kejar setoran’ sebelum memasuki Oktober dan terkesan terburu-buru.

Hal itu yang kemudian menimbulkan beberapa pertanyaan tentang motif di balik penerapan kebijakan tersebut.

“Cara-cara yang dilakukan oleh pemerintah dan juga Komite Anti-Dumping Indonesia (KADI) ini tidak elok dan penuh inkonsistensi,” ujar Faisal, dikutip Rabu (21/8/2024).

1. Perubahan hasil kajian KADI

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengekspose temuan 4,57 juta produk keramik ilegal. (dok. Kemendag)

KADI awalnya telah melakukan kajian yang menghasilkan angka di bawah 40 persen untuk BMAD. Namun, secara mengejutkan, kajian itu ditolak.

Setelah itu muncul kajian kedua yang menampilkan angka jauh lebih tinggi, yakni 100-200 persen. Perubahan drastis ini terjadi hanya setelah Ketua KADI dipecat dari jabatannya karena menolak mengubah hasil kajian. Faisal pun menilai hal tersebut sangat mencurigakan.

“Hasil kajian kok diganti ganti, lalu setelah dipecat itu kemudian keluar kajian baru yang sudah berubah angkanya menjadi 100 persen sampai 200 persen. Ini kan aneh dan sangat mencurigakan. Kalau dalam istilah ekonomi internasional, ini masuk kategori predatory dumping,” tutur Faisal.

Baca Juga: Pengusaha Harap BMTP-BMAD Jaga Industri Petrokimia dari Gempuran Impor

2. Efek domino kebijakan keramik kena antidumping

Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan alias Zulhas mengekspose temuan 4,57 juta produk keramik ilegal. (dok. Kemendag)

Kebijakan ini kemudian berdampak langsung pada pasar impor lantaran tidak ada perusahaan yang mau melakukan impor akibat dari tarif tinggi. Akibatnya, terjadi kelangkaan pasokan impor yang berpotensi menyebabkan kenaikan harga dalam negeri hingga dua kali lipat karena ketidakseimbangan antara suplai dan permintaan.

Menanggapi hal tersbeut, Ketua Asosiasi Aneka Industri Keramik Indonesia (ASAKI), Edy Suyanto menyatakan bahwa pihaknya tidak akan menaikkan harga.

“Bagaimana tidak akan naikkan harga, lha pasokannya turun separuh ya harga naik, supply demand kan. Ini pembodohan publik. Lalu bilang kalau aturannya (WTO) berubah, aturan mana yang berubah? WTO saja tidak melakukan perubahan peraturan,” ujar Faisal.

Dia menambahkan, jika China melakukan retaliasi maka dampak negatifnya tidak hanya akan dirasakan oleh industri keramik saja, melainkan juga industri lain seperti sawit, batu bara, kertas, nikel dan lainnya.

Baca Juga: Produk Keramik Impor China Bakal Kena Bea Masuk? Ini Kata KADI

3. Permasalahan utama industri keramik dalam negeri

Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengekspose temuan 4,57 juta produk keramik ilegal. (dok. Kemendag)

Menurut Faisal, permasalahan utama yang dihadapi industri keramik dalam negeri bukanlah impor produk porselen, melainkan persaingan internal.

Faisal merasa perlu dilihat lebih lanjut kenapa perusahaan bisa bangkrut. Hal-hal tersebut tidak bisa semena-mena dilihat hanya dampak dari kebijakan impor karena ada peran dampak dari pandemik COVID-19. Bisnis-bisnis pada COVID-19 juga ambles dan kemudian juga mengalami recovery.

Di Indonesia, industri keramik lebih banyak berfokus pada produksi keramik merah, yang tidak terkena dampak impor secara langsung.

“Yang dipermasalahkan porselen, padahal produksi Indonesia keramik tanah merah. Ini tidak ada impor, namun persaingan dalam negeri yang cukup banyak ada 20-30, tapi yang disalahkan keramik impor,” tutur Faisal.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya