TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Deretan Fakta TikTok, Awal Mula Larangan E-Commerce Gabung Medsos

TikTok kini menjadi media sosial dan juga ecommerce

ilustrasi TikTok (IDN Times/Arief Rahmat)

Jakarta, IDN Times - Socio commerce telah menjadi fenomena yang banyak dibicarakan publik. Socio commerce dapat diartikan sebagai media sosial yang juga berperan sebagai tempat jual beli layaknya e-commerce.

Salah satu bentuk nyata socio commerce adalah TikTok. Selain sebagai media sosial, TikTok juga digunakan para penggunanya sebagai lapak berjualan produk baik melalui fitur live maupun keranjang kuning alias TikTok Shop.

Kehadiran TikTok sebagai socio commerce lantas dianggap menjadi ancaman terutama buat usaha mikro kecil menengah (UMKM). Ancaman itu muncul karena banyak barang yang dijual di TikTok harganya terlalu murah sehingga membuat masyarakat beralih membeli produk lewat TikTok.

Berikut ini deretan fakta terkait TikTok sebagai socio commerce yang kini jadi pembicaraan publik.

Baca Juga: Berpotensi Matikan UMKM, Kominfo Pantau Regulasi Perdagangan di TikTok

1. Banyak UMKM gulung tikar karena produk impor di TikTok Shop

Salah satu kios pedagang pakaian bekas impor di Pasar Senen, Jakarta. (Dok. Kemenkop UKM)

Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah (Kemenkop UKM) mengungkapkan banyaknya UMKM yang bangkrut atau gulung tikar lantaran kalah bersaing dengan TikTok Shop.

Smesco Indonesia mengatakan penyebabnya adalah produk dijual lebih murah di TikTok Shop dibandingkan dengan harga normalnya.

"Beberapa UMKM yang bangkrut bukan karena produknya tidak bersaing, tapi harga yang tidak sesuai," kata Direktur Bisnis dan Pemasaran Smesco Indonesia, Wientor Rah Mada.

"Kami juga sampaikan ke kawan-kawan TikTok, dan beberapa platform lain juga kita mengemukakan hal sama, berkenaan dengan produk-produk cross border yang berkaitan dengan mandatory pricing. Mudah-mudahan dari hasil pertemuan ini kita dapat formulasikan banyak hal," lanjutnya.

Dia menegaskan sudah ada 70 pelaku UMKM mengaku terkena dampak dari barang impor yang dijual dengan harga murah. Salah satu pelaku UMKM yang terdampak banjirnya produk impor yakni konveksi sweater.

Kondisi ini dinilainya, perlu mendapatkan perhatian khusus dari pemerintah.

"Masuk (laporan) ke kami yang bankrut adalah UMKM kategori koneveksi sweater karena tidak bisa bersaing harga," ujarnya.

2. Keberadaan Project S TikTok

Aplikasi TikTok Shop. (dok. Kemenkop UKM)

Menkop UKM, Teten Masduki mengatakan Project S TikTok Shop bisa menjadi ancaman bagi UMKM Indonesia. Project S TikTok Shop ini dicurigai menjadi cara perusahaan untuk mengoleksi data produk yang laris-manis di suatu negara, untuk kemudian diproduksi di China. Kecurigaan itu pertama kali mencuat di Inggris.

Jika hal itu menjadi kenyataan, maka keberlangsungan produk UMKM lokal bisa tergerus dengan produk impor. Untuk mencegahnya, Kemenkop UKM meminta Kementerian Perdagangan (Kemendag) untuk mempercepat revisi Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 50/2020 tentang Perizinan Usaha, Periklanan, Pembinaan dan Pengawasan Pelaku Usaha dalam Perdagangan Melalui Elektronik (PPMSE).

"KemenKopUKM telah melakukan pembahasan secara intensif dengan Kemendag, KL lain dan juga secara resmi sudah mengirimkan draf perubahan revisi Permendag Nomor 50/2020 ini kepada Kemendag, namun hingga saat ini masih belum keluar juga aturan revisinya," kata Teten.

Teten mengatakan Permendag Nomor 50/2020 itu harus segera direvisi. Sebab, menurut Teten kondisi UMKM saat ini sangat genting, sehingga perlu dilindungi.

"Ini sudah sangat urgent. Untuk menghadirkan keadilan bagi UMKM di pasar e-commerce, Kemendag perlu segera merevisinya. Aturan ini nampaknya macet di Kementerian Perdagangan," kata Teten.

3. TikTok dapat dukungan dari Sandiaga Uno

Menparekraf Sandiaga Uno di Halal Bi Halal MUI pada Kamis (17/5/2023) (IDN Times/Aryodamar)

Kendati mendapatkan penolakan dari Teten, TikTok Shop justru memperoleh dukungan dari Menparekraf, Sandiaga Uno. Menurut Sandiaga, UMKM bisa berjualan secara online di platform tersebut.

Sandiaga mengaku telah merumuskan dengan Menkop UKM dan Kementrian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) soal pandangan pelarangan penjualan di Tiktok Shop tersebut.

"Ini masih dirumuskan, ada pandangan dari beberapa kalangan, baik pelaku UMKM, bahwa produk mereka makin hari makin tertekan nilainya. Kementerian sudah berdialog dengan Kominfo, bagaimana media sosial (medsos) yang bisa kita gunakan sebagai sarana promosi tidak justru membunuh UMKM kita, karena nilai penjualan kita makin menurun, karena impor makin tinggi, persaingan main tinggi tapi kita harus pastikan UMKM harus jadi pemain, ciptakan lapangan kerja, kita kolaborasi," ujar Sandiaga.

Lebih lanjut, Sandiaga mengatakan akan bekerja sama dengan pihak Tiktok Shop untuk membantu UMKM di Indonesia. Dari catatannya, saat ini penguna Tiktok di Indonesia mencapai 100 juta pengguna. Hal tersebut dinilai sangat tinggi ditambah lagi penggunaan internet di Indonesia berkisar 8 hingga 9 jam.

"Kita sudah kerja sama dengan Tiktok, pastikan bantu promosinya dan meningkatkan omzet pelaku UMKM yang menggunakan platform Tiktok Shop, regulasi sedang digodog, mampu memberdayakan UMKM," jelas Sandi.

Baca Juga: Profil Jhon LBF, Pengusaha Viral di TikTok yang Undang Pro Kontra

4. Kemenkominfo belum bisa blokir TikTok

Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Usman Kansong. (IDN Times/Umi Kalsum)

Meski menuai polemik, Kemenkominfo masih belum bisa memblokir TikTok. Alih-alih memblokir, Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kemenkominfo, Usman Kansong mengatakan masih memantau perkembangan regulasi mengenai perdagangan di platform media sosial TikTok.

Sejauh ini, Kemenkominfo masih belum mengambil tindakan untuk memblokir perdagangan melalui live shopping di TikTok.

"Kalau nanti ada aturan baru, seperti yang sedang digodok. Bahwa harus memisahkan media sosial dengan e-commerce, kita ikuti aturan itu dan ambil langkah-langkah yang diperlukan sesuai aturan tersebut," ujar Usman.

Usman menjelaskan ketentuan dari Kemenkominfo melibatkan dua pertimbangan, yakni sifat dari konten dan registrasi. Kemenkominfo akan melakukan pemblokiran bila konten yang ditampilkan bersifat negatif dan melanggar aturan.

Dalam konteks perdagangan di social commerce, Kemenkominfo bisa mengambil tindakan pemblokiran bila produk yang dijual merupakan barang-barang terlarang. Namun, apabila kondisi tersebut tidak terpenuhi, maka Kemenkominfo tidak bisa melakukan pemblokiran.

Sementara itu, terkait ketentuan mengenai registrasi penyelenggara sistem elektronik (PSE). Bila regulasi mengatur bahwa platform media sosial yang ingin menghadirkan fitur social commerce harus registrasi PSE.

Kemenkominfo bisa melakukan pemblokiran ketika terjadi pelanggaran. Sementara, bila regulasi belum menjangkau sisi itu, maka Kemenkominfo tidak dapat melakukan pemblokiran.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya