TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Chandra Hamzah Minta Pasal Kerugian Negara di UU Tipikor Direvisi

Pasal kerugian negara kerap digunakan serampangan

Gedung KPK (IDN Times/Aryodamar)

Intinya Sih...

  • Pimpinan KPK periode 2007-2011, Chandra Hamzah, menyarankan agar pasal kerugian negara dalam UU Tipikor dikaji ulang karena sering disalahgunakan.
  • Chandra mengusulkan definisi yang lebih tegas dan pembagian jelas antara kerugian nyata dan potensi kerugian agar tidak ada kriminalisasi berlebihan terhadap tindakan bisnis sah.
  • Revisi pasal kerugian negara penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku bisnis terutama yang beroperasi di sektor BUMN.

Jakarta, IDN Times - Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) periode 2007-2011, Chandra Hamzah menyarankan agar pasal kerugian negara dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) dikaji ulang.

Dia menilai, definisi kerugian negara dalam pasal tersebut kerap digunakan secara serampangan dalam kasus-kasus korupsi sehingga berpotensi menimbulkan ketidakadilan. Chandra menekankan pentingnya membedakan antara kerugian negara yang nyata dan potensi kerugian yang belum pasti.

Pasal kerugian negara sebagaimana diatur dalam UU Tipikor menjadi dasar dalam banyak kasus korupsi di Indonesia. Namun, Chandra menyebut pasal tersebut sering digunakan tanpa mempertimbangkan konteks yang lebih luas, khususnya dalam kasus-kasus yang melibatkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN).

“Banyak kasus yang hanya melihat potensi kerugian langsung dianggap sebagai kerugian negara, padahal dalam bisnis ada dinamika yang harus diperhatikan,” ujar Chandra dalam pernyataan resminya, Rabu (25/9/2024).

Baca Juga: Ngeri, Kerugian Negara dari Impor Tekstil Ilegal Ditaksir Rp6,2 T

1. Pasal kerugian negara perlu diperjelas

Kantor pusat Kementerian BUMN. (IDN Times/Vadhia Lidyana)

Chandra mengusulkan pasal kerugian negara dalam UU Tipikor diperjelas agar tidak mudah disalahgunakan. Definisi yang lebih tegas dan pembagian jelas antara kerugian nyata dan potensi kerugian diperlukan agar tidak ada kriminalisasi berlebihan terhadap tindakan bisnis sah.

Menurutnya, revisi ini penting untuk memberikan kepastian hukum bagi pelaku bisnis terutama yang beroperasi di sektor BUMN.

“Kita butuh aturan yang lebih adil. Jangan sampai setiap keputusan bisnis yang membawa risiko dianggap sebagai tindak pidana korupsi hanya karena ada potensi kerugian,” kata Chandra.

Baca Juga: Kerugian Negara Akibat Korupsi Emas Antam 109 Ton Sekitar Rp1 Triliun

2. Pasal kerugian negara yang tidak jelas bisa ganggu iklim investasi

Ilustrasi investasi. (IDN Times/Aditya Pratama)

Chandra menambahkan, revisi pasal kerugian negara tersebut harus segera dilakukan agar tidak mengganggu iklim investasi dan keberlanjutan perusahaan BUMN yang sering terlibat dalam proyek-proyek besar.

Chandra juga menekankan, akuisisi atau keputusan bisnis yang diambil BUMN seharusnya dievaluasi berdasarkan hasil akhirnya, bukan sekadar potensi kerugiannya.

“Tidak semua potensi kerugian bisa dianggap sebagai tindak pidana. Negara harus mampu membedakan mana risiko bisnis dan mana yang betul-betul merugikan negara secara nyata,” ujar dia.

Chandra berharap penegakan hukum terhadap kasus-kasus korupsi di BUMN bisa lebih adil dan berdasarkan prinsip-prinsip yang lebih matang. Dengan begitu, tidak ada pihak yang dirugikan akibat penerapan hukum yang kurang tepat.

Baca Juga: Kejagung: Nilai Kerugian Negara di Proyek Jalur Kereta Medan Rp1,1 T

3. Akuisisi yang dilakukan BUMN kerap dianggap merugikan negara

PT ASDP Indonesia Ferry (Persero) mengoptimalkan layanan kapal perintis di Sorong menuju destinasi wisata dunia Raja Ampat, Papua Barat Daya guna menunjang kepariwisataan Indonesia. (Dok/Istimewa).

Chandra mencontohkan kasus-kasus akuisisi di BUMN seringkali ditangani secara tidak tepat. Dalam konteks akuisisi, nilai aset yang fluktuatif atau keputusan bisnis tidak menguntungkan kerap dijadikan dasar untuk menuduh adanya kerugian negara, meski belum tentu terjadi kerugian faktual.

Contohnya kasus akuisisi yang dilakukan PT ASDP Indonesia Ferry (Persero). Akuisisi ini dipandang sebagai tindakan yang merugikan negara oleh sebagian pihak. Namun, pada kenyataannya terdapat aspek bisnis dan risiko yang wajar dalam setiap akuisisi.

“Seharusnya penegakan hukum terhadap akuisisi di BUMN memperhatikan aspek bisnis secara menyeluruh, bukan hanya fokus pada satu sisi potensi kerugian,” tambahnya.

Chandra menilai, dalam beberapa kasus, aparat penegak hukum terlalu cepat menggunakan pasal kerugian negara untuk menjerat pelaku tanpa mempertimbangkan dinamika bisnis yang kompleks.

“Penegak hukum perlu memahami bahwa risiko kerugian dalam bisnis, termasuk akuisisi, adalah hal yang wajar dan tidak selalu mencerminkan tindak pidana korupsi,” ucap dia.

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya