TUTUP
SCROLL UNTUK MELANJUTKAN MEMBACA
Gabung di IDN Times

Badai PHK Terus Menerjang, Rakyat Indonesia Meradang

Badai PHK paling ganas melanda industri tekstil

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Intinya Sih...

  • PHK melanda perusahaan besar dunia seperti TikTok, Google, Lazada, Citigroup, eBay, Microsoft, SAP hingga Riot Games
  • Industri tekstil terkena badai PHK paling dasyat di Indonesia dengan lebih dari 10 ribu pekerja terkena PHK di Jawa Barat dan Jawa Tengah

Jakarta, IDN Times - Gelombang pemutusan hubungan kerja alias PHK menghantui dunia sejak beberapa tahun terakhir dan terus berlanjut hingga 2024. Banyak perusahaan besar dari berbagai sektor yang terpaksa memangkas jumlah karyawan agar bisnis bisa tetap berjalan.

Pada awal tahun ini, banyak perusahaan dunia yang punya nama besar melakukan PHK. TikTok, Google-Alphabet, Lazada, Citigroup, eBay, Microsoft, SAP hingga Riot Games adalah sebagian dari banyak perusahaan kelas dunia yang terpaksa melakukan PHK terhadap para pekerjanya.

Pekerja yang terkena PHK pun jumlahnya bukan hanya ratusan, bahkan mencapai ribuan per perusahaan. Laporan dari Challenger, Gray & Christmas menunjukkan, PHK di perusahaan-perusahaan AS mencapai level tertinggi sejak 2009 pada Februari 2024.

“Perusahaan-perusahaan secara agresif memangkas biaya dan mengadopsi inovasi teknologi, menjadikannya sebagai tindakan yang secara signifikan mengubah kebutuhan staf,” kata Pakar Ketenagakerjaan di Challenger, Andrew Challenger, dalam laporan tersebut.

Perusahaan kerap menyebut PHK massal sebagai akibat dari restrukturisasi. Hanya sedikit perusahaan yang menyalahkan penutupan pabrik atau toko sebagai biang kerok PHK massal tersebut.

Contoh nyata hal tersebut terjadi pada raksasa teknologi AS, Google yang mengumumkan PHK besar-besaran pada Januari sebagai bagian dari perombakan skala besar. Untuk diketahui, sebulan sebelumnya Google meluncurkan program bot AI yang diberi nama Gemini.

Perusahaan teknologi lainnya seperti Microsoft, Apple, Amazon, dan Meta juga melakukan hal serupa sejalan dengan upaya mereka meningkatkan teknologi kecerdasan buatannya.

Tak mengherankan jika kemudian para pengusaha di industri teknologi mengumumkan lebih banyak PHK daripada lainnya. Kendati begitu, PHK di sektor teknologi tahun ini sebenarnya jauh lebih rendah daripada tahun lalu.

“Pada Februari 2023, hampir sepertiga dari semua PHK terjadi di perusahaan teknologi. Namun, tahun ini lebih banyak industri yang mengalami lonjakan PHK. Perusahaan manufaktur dan energi misalnya, mengalami PHK lebih dari 1.000 persen sepanjang tahun ini dibandingkan periode yang sama pada tahun 2023,” tutur Andrew.

1. PHK massal juga terjadi di Indonesia

ilustrasi PHK (IDN Times/Aditya Pratama)

Lantas, bagaimana kondisi yang terjadi di Indonesia? Hampir serupa dengan AS, Indonesia juga dilanda badai PHK sejak awal tahun ini. 

Sejumlah perusahaan dengan nama besar di Indonesia terpaksa melakukan PHK terhadap karyawannya. Perusahaan swasta dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tidak bisa menghindari terjadinya PHK sepanjang paruh pertama 2024.

Dailysocial.id, platform berita lokal yang fokus pada topik-topik terkait perusahaan rintisan alias startup melakukan PHK terhadap seluruh karyawannya. Dilansir Tech in Asia awal Mei lalu, PHK yang dilakukan merupakan bagian dari restrukturisasi besar-besaran pada bisnisnya.

Adapun PHK telah diumumkan kepada seluruh karyawan pada 1 April 2024 lalu. CEO Dailysocial.id, Rama Mamuaya mengatakan, seluruh pekerjanya efektif di-PHK per akhir Agustus 2024.

Selain Dailysocial.id, perusahaan induk TikTok, ByteDance Ltd melakukan PHK massal terhadap 450 karyawan di lini bisnis e-commerce di Indonesia. PHK dilakukan selang lima bulan lebih TikTok mengakuisisi Tokopedia pada 31 Januari 2024.

Sebagai informasi, melalui merger tersebut, ByteDance memulai kembali bisnisnya di Indonesia dengan mematuhi peraturan yang diberlakukan untuk menghentikan layanan ritel online-nya.

Direktur Corporate Affairs Tokopedia dan ShopTokopedia, Nuraini Razak tak menampik terkait kabar PHK kala itu. Dia mengatakan, PHK terpaksa dilakukan demi memperkuat tim di organisasinya agar tetap selaras dengan tujuan perusahaan.

“Kami harus melakukan penyesuaian yang diperlukan pada struktur organisasi sebagai bagian dari strategi perusahaan agar dapat terus tumbuh,” kata Nuraini dalam keterangannya, pertengahan Juni lalu.

Dari jajaran perusahaan pelat merah, Balai Pustaka dan Pelayaran Nasional (Persero) atau Pelni juga tercatat melakukan PHK terhadap sejumlah karyawannya. PHK di Balai Pustaka menyasar 65 karyawan melalui mekanisme golden shake hand alias pensiun dini.

Sebagai perusahaan yang sudah dititip kelola pada Holding Danareksa, Sekretaris Perusahaan PT Danareksa (Persero), Agus Widjaja membeberkan alasan PHK massal tersebut.

“Dalam tiga tahun terakhir, PT Balai Pustaka mengalami penurunan kinerja yang signifikan, di antaranya disebabkan oleh bisnis perusahaan yang terdampak disrupsi teknologi dan daya saing yang lemah,” kata Agus.

Sementara itu, Pelni melakukan PHK terhadap puluhan karyawan. Namun dalam kasus Pelni, PHK dilakukan sebagai sanksi atas kegiatan ilegal yang dilakukan oleh oknum pegawai Pelni.

Direktur Utama Pelni, Tri Andayani mengatakan, ada banyak oknum yang memperjualbelikan kasur di kapal Pelni. Pelni pun tidak menoleransi ketika terjadi peristiwa tidak beres yang menyangkut kenyamanan penumpang.

"Itu sudah kami sikapi dengan menetapkan sanksi yang tegas, ya tidak perlu saya umumkanlah di publik. Artinya, sanksi tegas ini memang di tahun 2022-2023 ini, kami manajemen sudah memberikan sanksi PHK kepada internal kami, puluhan orang," tutur perempuan yang karib disapa Anda tersebut.

Baca Juga: Deretan Perusahaan yang PHK Massal di Indonesia 2024

2. Badai PHK industri tekstil

Infografis 8 Pabrik Tekstil di Jabar dan Jateng PHK Massal (IDN Times/Aditya Pratama)

Meski begitu, industri tekstil terkena hantaman badai PHK paling dasyat sejak awal tahun ini. Hal itu terbukti lewat laporan yang disampaikan oleh Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN).

Presiden KSPN, Ristadi mengungkapkan, ada lebih dari 10 ribu pekerja tekstil di Jawa Barat dan Jawa Tengah terkena PHK terhitung sejak Januari hingga Mei 2024.

"Akhir Mei kami rilis data PHK Januari sampai dengan Mei 2024, ada 10.800 (terkena PHK) di industri sektor tekstil," kata Ristadi kepada IDN Times.

Tidak berhenti di situ, PHK di industri tekstil berlanjut hingga Juni 2024 sebanyak 3.000 pekerja sehingga membuat total PHK terjadi sebanyak 13.800 orang. Kemudian pada Agustus, KSPN mendapatkan laporan, pabrik tekstil di Bandung akan melakukan PHK terhadap 500-an pekerjanya.

Ristadi pun mengungkapkan biang kerok banyaknya pabrik atau perusahaan tekstil memberhentikan para pekerjanya. Masalah utama yang jadi penyebab PHK besar-besaran karena berkurangnya pesanan atau bahkan tidak ada pesanan datang ke perusahaan atau pabrik tersebut.

"Pabrik lokalan barang produksinya kalah bersaing harga dengan barang tekstil impor yang lebih murah dan semakin banyak menjamur di pasar lokal/dalam negeri. Order pun menurun, baik ekspor maupun lokal," ujarnya.

Ristadi pun menjelaskan, pihaknya telah berupaya semaksimal mungkin agar tidak ada lagi pabrik tekstil yang tutup atau melakukan PHK terhadap pekerjanya. Salah satunya dengan mengajak para pemangku kepentingan meminta pemerintah menelurkan kebijakan yang pro terhadap industri tekstil dalam negeri.

"Bersama-sama dengan stakeholders lainnya, kami meminta ke pemerintah agar importasi dibatasi dan berantas impor ilegal agar pasar domestik kita diisi oleh barang-barang produk dalam negeri. Dengan demikian, aktivitas produksi pabrik-pabrik produsen dalam negeri terus berjalan sehingga bisa mencegah terjadinya PHK," tutur Ristadi.

Sesuai catatan KSPN, berikut daftar perusahaan tekstil yang melakukan PHK massal:

  • PT Sae Aparel Kota Semarang melakukan PHK 8 ribu-an pekerja
  • PT Sinar Panca Jaya Semarang melakukan PHK 2 ribu pekerja
  • PT Pulomas Bandung melakukan PHK 100 pekerja
  • PT Alenatex Bandung melakukan PHK 700 pekerja
  • PT Kusuma Grup melakukan PHK 1.600 pekerja
  • PT Bitratex Semarang melakukan PHK 400-an pekerja
  • PT Johartex Magelang melakukan PHK 300-an pekerja
  • PT Dupantex Semarang melakukan PHK 700-an pekerja.

3. Penyebab badai PHK industri tekstil yang tak kunjung reda

Ilustrasi pegawai pabrik kena PHK (ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi)

Badai PHK yang menerpa industri tekstil pun disoroti oleh Kementerian Perindustrian (Kemenperin). Plt Dirjen Industri Kimia, Farmasi, dan Tekstil (IKFT), Reny Yanita mengatakan, salah satu penyebabnya revisi aturan impor, yang dituangkan dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Perubahan Ketiga atas Permendag Nomor 36 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Impor.

“Nah, jadi perkembangan PHK di industri TPT (tekstil dan produk tekstil) pascaterbitnya Permendag (Nomor) 8 (Tahun 2024) ,” katanya.

Reny mengatakan, terbitnya Permendag Nomor 8 Tahun 2024 memicu kenaikan impor TPT. Pada Mei 2024, impor TPT naik menjadi 194,87 ribu ton, dari semula 136,36 ribu ton pada April 2024.

Padahal, menjelang penerapan aturan pada Permendag Nomor 36 tahun 2023, pengendalian impor terlihat dari turunnya volume impor. Pada Januari dan Februari 2024, impor TPT turun berturut-turut sebesar 206,3 ribu ton, dan 166,76 ribu ton menjadi 143,9 ribu ton pada Maret 2024.

“Terbitnya Permendag (Nomor) 8 ini menyebabkan impornya kembali naik, yang tadinya sudah mulai menurun,” ucap Reny.

Selain itu, Kemenperin melaporkan utilisasi industri kecil menengah (IKM) TPT juga menurun hingga 70 persen.

“Kemudian juga ternyata pembatalan kontrak, hilangnya harapan untuk berusaha kembali dan mempertahankan operasionalisasi,” ujar dia.

Namun pernyataan Kemenperin dibantah Menteri Perdagangan (Mendag), Zulkifli Hasan. Menurut pria yang karib disapa Zulhas, PHK massal di sejumlah pabrik tekstil disebabkan penghapusan syarat Pertimbangan Teknis (Pertek) untuk impor komoditas tertentu. Zulhas mengatakan, syarat Pertek tak dihapus bagi komoditas TPT.

“Loh tekstil-tekstil tetap Pertek. Loh gimana, tekstil gak ada perubahan, tetap. Besi dan baja, tekstil, tidak ada perubahan,” kata Zulhas.

Zulhas menegaskan syarat Pertek impor yang dihapus tak berkaitan dengan komoditas TPT.

“Ya enggak ada kaitannya karena Perteknya tetap tidak ada perubahan dalam Permendag 8,” ujar Zulhas.

Adapun syarat Pertek yang dihapus dalam Permendag Nomor 8 tahun 2024 hanya ditujukan untuk komoditas berikut:

  • Elektronik
  • Alas kaki
  • Pakaian jadi dan aksesoris pakaian jadi
  • Tas
  • Katup
  • Obat tradisional dan suplemen kesehatan
  • Kosmetik dan perbekalan rumah tangga

Baca Juga: 7 Provinsi dengan Kenaikan PHK Tertinggi, Babel Meroket 5.375 Persen

4. Sebanyak 40 ribu lebih kasus PHK terjadi sejak Januari-Agustus 2024

Menteri Ketenagakerjaan (Menaker) Ida Fauziyah saat ditemui di Gedung DPR RI, Jakarta, Kamis (13/6/02024). (IDN Times/Trio Hamdani)

Sementara itu, data KSPN soal PHK di industri tekstil berbanding lurus dengan kondisi PHK di Indonesia secara keseluruhan. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat sebanyak 46.240 pekerja terkena PHK sepanjang Januari hingga Agustus 2024.

Menteri Tenaga Kerja (Menaker), Ida Fauziyah mengatakan, sektor yang paling banyak terdampak PHK adalah industri manufaktur, khususnya di bidang tekstil, garmen, dan alas kaki. Menurutnya, industri pengolahan, yang meliputi sektor-sektor tersebut, menjadi yang paling banyak melakukan PHK.

"Yang terbanyak, manufaktur, tekstil. Masih industri pengolahan ya, industri pengolahan itu tekstil, garmen, alas kaki," ujar Ida.

Pada Januari, tercatat sebanyak 3.332 kasus PHK terjadi. Angka tersebut meningkat tajam di Februari menjadi 7.694 kasus. Tren peningkatan terus berlanjut di Maret dengan jumlah 12.395 kasus.

Peningkatan yang lebih drastis terlihat pada April ketika tercatat 18.829 kasus PHK. Memasuki Mei, angka tersebut melonjak menjadi 27.222 kasus.

Lalu pada Juni, total kasus PHK tercatat sebanyak 32.064. Kasus PHK kembali meningkat pada Juli dan Agustus, masing-masing sebesar 42.863 dan 46.240 kasus.

Jika dibandingkan periode Januari-Agustus 2023, jumlah kasus PHK di Indonesia mengalami peningkatan sebesar 23,71 persen pada periode yang sama tahun ini.

5. Jawa Tengah catat kontribusi terbesar jumlah PHK Januari-Agustus 2024

Ilustrasi PHK. (IDN Times/Aditya Pratama)

Mengutip data Kemnaker, dari jumlah tersebut, Jawa Tengah (Jateng) menjadi provinsi dengan jumlah PHK tertinggi, menyumbang sekitar 31,82 persen dari total kasus yang tercatat. Sepanjang Januari-Agustus 2024, ada 14.712 tenaga kerja terkena PHK di Jateng atau melesat 128,8 persen dibanding periode sama tahun lalu sebanyak 6.430 tenaga kerja.

Meski begitu, pertumbuhan kasus PHK paling tinggi secara tahunan justru terjadi di Bangka Belitung (Babel). Pada Agustus 2023, PHK di Babel tercatat hanya 33 kasus, sedangkan pada Agustus 2024 melesat menjadi 1.807 kasus PHK. Dengan begitu, ada pertumbuhan 5.375,75 persen PHK di Babel secara tahunan.

Adapun provinsi kedua dengan pertumbuhan jumlah tenaga kerja ter-PHK tertinggi, yakni Sulawesi Tenggara yang mencapai 672,5 persen dari 120 kasus pada Agustus 2023 menjadi  927 kasus PHK pada Agustus 2024. Disusul Sumatra Barat dengan pertumbuhan jumlah tenaga kerja terkena PHK sebesar 584, 9 persen dari 53 kasus menjadi 563 kasus PHK. 

DKI Jakarta ada di posisi keempat dengan pertumbuhan jumlah PHK sebesar 575,93 persen, menjadi 7.469 kasus pada Agustus 2024 dari periode yang sama tahun lalu sebanyak 1.105 kasus. Berikutnya Sumatra Utara dengan pertumbuhan sebesar 498,88 persen dari 90 kasus menjadi 539 kasus PHK. 

Selanjutnya Aceh dengan kenaikan jumlah tenaga kerja ter-PHK mencapai 140 persen, dari 95 kasus di Agustus tahun lalu menjadi 228 kasus pada Agustus tahun ini.

Sementara itu, Jateng yang jumlah kasus PHK-nya tertinggi sejak Januari-Agustus 2024 ada di posisi ketujuh, dengan kenaikan 128,8 persen dari 6.430 kasus menjadi 14.712 kasus PHK.

6. Soal Jateng sebagai provinsi dengan jumlah PHK tertinggi di RI selama 2024

Anggota Komisi IX DPR RI Edy Wuryanto. (IDN Times/Fariz Fardianto)

Kondisi yang terjadi di Jateng tersebut tidak luput dari pengawasan Komisi XI DPR RI. Menurut Anggota Komisi XI DPR RI, Edy Wuryanto, kasus PHK di Jateng jadi paling banyak di Indonesia lantaran sebagian besar industrinya bergerak di sektor manufaktur.

Bahkan, situasi saat ini banyak pelaku industri tekstil, garmen dan alas kaki yang sulit bersaing lantaran terdampak situasi pasar global. Edy menambahkan, kondisi yang dialami pabrik-pabrik di Jateng dipengaruhi oleh letaknya sebagai pusat bagi perusahaan yang bergerak di bidang manufaktur, tekstil, dan juga padat karya yang membutuhkan tenaga kerja banyak. 

"Karena situasi ekonomi dalam negeri yang sulit, kondisi global geopolitiknya yang susah, permintaan ekspor yang turun, sehingga membuat perusahaan-perusahaan ini menjadi terpuruk dan banyak terjadi PHK," kata anggota DPR fraksi PDIP tersebut.

Selain itu, Edy pun menyoroti kasus PHK yang bermunculan di Jawa Tengah meningkat pesat ketimbang tahun lalu karena situasi pasar yang semakin sulit. Apalagi industri garmen seperti apparel diterpa isu PHK besar-besaran yang disebutkan dengan jumlah 8.000 orang. 

Oleh karena itu, Edy menekankan kejadian tersebut jangan sampai terulang kembali. Karena saban muncul PHK justru menimbulkan ketidakpercayaan dari konsumen dan para stakeholder. 

"Disnakertrans mestinya jaga kepercayaan pasar, harus dijaga agar tidak muncul PHK," kata Edy.

Sementara itu, Ketua Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Jateng, Frans Kongi menuturkan, banyaknya PHK disebabkan peralatan yang dimiliki pabrik garmen, tekstil dan TPT jadul alias ketinggalan zaman. Apabila dibanding peralatan milik pabrik luar negeri, Frans berkata, pengusaha lokal sudah pasti kalah bersaing. 

"Kita banyak yang kalah bersaing. Lagian kan alat-alatnya sudah tua semua. Bahan baku kita 90 persen juga masih impor. Saya berharap sekali pada pemerintahan Prabowo tahun depan kondisi dunia usaha bisa bangkit dan pulih lagi," tutur Frans.

Baca Juga: 114 Pekerja Tekstil Kena PHK di Jawa Barat Agustus 2024

7. PHK terus terjadi di tengah positifnya pertumbuhan ekonomi

ilustrasi pertumbuhan ekonomi (IDN Times/Aditya Pratama)

Gelombang PHK yang terjadi begitu masif saat ini bak anomali dengan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang paruh pertama 2024.

Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan, pertumbuhan ekonomi Indonesia di kuartal II-2024 mencapai 5,05 persen secara tahunan atau year on year (yoy). Angka tersebut lebih rendah dibanding periode sama tahun lalu sebesar 5,17 persen (yoy).

Pertumbuhan ekonomi yang diklaim positif itu nyatanya tidak berdampak pada kondisi tenaga kerja Indonesia. Puluhan ribu tenaga kerja di Indonesia justru terkena PHK di tengah pertumbuhan ekonomi.

Tak heran jika kemudian Rachmat Gobel selaku Wakil Ketua DPR RI Bidang Korinbang mengatakan, tumbangnya sejumlah industri dalam negeri dan maraknya PHK secara masif menunjukkan ada masalah dalam pengelolaan ekonomi nasional.

“Terutama tak hadirnya hati pada sebagian pengambil kebijakan di pemerintahan. Pancasila dan NKRI harga mati hanya ada di mulut tapi tak meresap di hati dan tak mewujud dalam amal perbuatan,” katanya.

Gobel pun menyoroti pernyataan Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati  berkaitan dengan alasan banjir impor tekstil akibat oversupply di luar negeri dan praktik dumping yang diketahui dilakukan China. Hal itu berakibat banjirnya produk tekstil di Indonesia.

"Pernyataan itu ditanggapi Menperin. Ada inkonsistensi antara pernyataan dan tindakan pada Kemenkeu," ujar Gobel.

Menurutnya, untuk menghadapi praktik dumping tersebut, Indonesia telah memiliki instrumen regulasi berupa Bea Masuk Tindakan Pengamanan (BMTP) dan Bea Masuk Anti-Dumping (BMAD). Masa berlaku regulasi ini sudah berakhir sejak 2022, namun hingga kini belum diperpanjang menkeu.

"Padahal Menperin sudah mengajukan usulan ke ,enkeu untuk perpanjangan tersebut. Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) dan Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filamen Indonesia (APSyFI) mengaku sudah tiga kali bersurat ke Kemenkeu untuk audiensi namun tak kunjung ditanggapi. Tahun 2024 saja, diperkirakan sudah ada 13.800 orang yang terkena PHK," tutur Gobel.

“Sebetulnya pemerintah itu memegang amanat rakyat sendiri atau amanat rakyat negara lain?” tambah dia.

Gobel kembali mengingatkan, Indonesia juga dibanjiri tekstil dan pakaian jadi impor yang bermotif kain tradisional Indonesia seperti motif batik, tenun, sulam, songket, dan lain-lain.

“Ini mestinya dicegah dengan regulasi yang masih diterima norma perdagangan internasional. Kain tradisional kita itu warisan leluhur. Ada nilai-nilai dan budaya di sana, bukan hanya soal ekonomi. Jika kita membiarkan hal ini terjadi, lama-lama industri kain tradisional Indonesia punah dan seniman kain tradisi berhenti berkarya. Dalam jangka panjang, generasi penerus kita menjadi tidak mengerti dan hanya tahu di museum," tutur dia.

Sementara itu, Ekonom Center of Economic and Law Studies (CELIOS), Nailul Huda mengatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang terjadi di Indonesia saat ini jauh dari kata berkualitas. Hal itu lantaran serapan tenaga kerjanya terlalu minim.

“Dahulu, 1 persen pertumbuhan ekonomi bisa menyerap hingga lebih dari 400 ribuan tenaga kerja. Saat ini, 1 persen ekonomi hanya menyerap 100 ribuan tenaga kerja saja. Jadi memang masih jadi PR dalam hal kualitas pertumbuhan ekonomi,” kata Huda kepada IDN Times, Minggu (29/9/2024).

Baca Juga: Kelas Menengah RI Susut, Ironi di Tengah Ambisi Jadi Negara Maju

8. Terlalu banyak pekerja informal

Ribuan ojol berunjuk rasa di kawasan Patung Kuda pada Kamis (29/8/2024). (IDN Times/Dini Suciatiningrum)

Selain itu, Huda mengungkapkan alasan lain mengapa pertumbuhan ekonomi yang masih di level 5 persenan malah membuat PHK semakin menjamur di republik ini. Hal itu karena tenaga kerja informal yang dominan terjadi pada masa pemerintahan Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Sebanyak 59 persen lebih pekerja Indonesia saat ini terserap di sektor informal.

“Masalahnya adalah tenaga kerja informal tidak ada perlindungan sosial yang mumpuni. Seringkali tidak ada perlindungan bagi tenaga kerja informal ini. Secara pendapatan pun, pendapatan rata-rata mereka jauh di bawah upah minimum. Secara kesejahteraan lebih buruk. Bisa dibilang, Jokowi melakukan informalisasi tenaga kerja,” beber Huda.

Selain itu, dia juga menyoroti deindustrialisasi prematur yang menunjukkan kinerja sektor industri manufaktur tidak optimal. Proporsi industri manufaktur terhadap PDB saat ini hanya 18 persen, padahal 10 tahun yang lalu, proporsinya pernah mencapai 20 persen lebih. 

Purchasing Managers Index (PMI) juga terus melambat dalam beberapa bulan terakhir yang terus menekan sektor manufaktur. Belum juga ditambah serbuan produk impor yang semakin menekan industri dalam negeri.

Di sisi lain, Undang-Undang Cipta Kerja pun tidak ada gunanya karena tidak ada investasi yang masuk membawa penyerapan tenaga kerja dalam jumlah besar.

Sejalan dengan itu, sektor industri porsinya terus menurun dibandingkan PDB nasional. Dari 22 persenan pada 2010-an awal, sekarang hanya 18 persenan di era Jokowi. Praktis tidak ada pembangunan pabrik secara masif di zaman Jokowi, malah yang jamak terjadi adalah PHK.

“Dampak yang paling saya khawatirkan adalah peningkatan jumlah pengangguran, di mana ketika tidak ada permintaan yang kuat, produksi cenderung melambat. Perusahaan akan memangkas produksi, terbukti PMI melemah. Pertumbuhan ekonomi bisa melambat dan pada akhirnya kesejahteraan masyarakat semakin jauh,” tutur Huda.

Baca Juga: Gawat! PHK Tembus 46 Ribu Kasus per Agustus

Rekomendasi Artikel

Berita Terkini Lainnya