Follow IDN Times untuk mendapatkan informasi terkini. Klik untuk follow
WhatsApp Channel &
Google News
Jakarta, IDN Times - Pemerintah diminta menyederhanakan sistem cukai rokok di Indonesia yang saat ini masih berlapis sehingga membuat selisih harga rokok antargolongan semakin jauh. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai banyaknya layer dalam struktur tarif cukai rokok mempengaruhi besarnya cukai yang dikenakan pada produk-produk tembakau di Indonesia.
"Perbedaan pungutan cukai dari masing-masing layer itu cukup signifikan. Ini yang memicu produsen berpindah dari satu layer ke layer lainnya dengan cara memproduksi barang sejenis bermerek baru dengan harga lebih murah," kata Pengurus Harian YLKI Agus Suyanto dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (2/6/2024).
Baca Juga: Kebijakan Cukai 2025 Dinilai Makin Beratkan Petani Tembakau
1. Kerumitan struktur cukai berimbas ke tingkat konsumen
Tarif cukai rokok saat ini mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 191 Tahun 2022, di mana terdapat delapan layer tarif untuk sigaret kretek mesin (SKM), sigaret putih mesin (SPM), dan sigaret kretek tangan (SKT).
Sebagai contoh, untuk SKM yang merupakan kategori terbesar, tarif cukai yang ditetapkan untuk golongan 1 sebesar Rp1.231/batang sedangkan untuk golongan 2 sebesar Rp746/batang.
Di tingkat konsumen, penerapan struktur cukai rokok yang berlapis juga mendorong menjamurnya merek rokok baru dengan harga yang lebih murah. Hal itu membuat konsumen cenderung menurunkan pilihannya ke rokok sejenis dengan harga lebih murah.
Menurut Agus, kerumitan tersebut dapat diselesaikan dengan menyederhanakan atau simplifikasi sistem cukai rokok di Indonesia yang saat ini termasuk paling kompleks di dunia.
"Pemerintah harus berani memangkas gap pungutan cukai antara satu layer dengan layer lainnya untuk mempersempit perbedaan harga. Dengan demikian, pilihan konsumen ke produk yang lebih murah menjadi semakin sempit," ujarnya.
2. Sistem cukai yang kompleks dorong konsumen cari rokok murah
Lanjutkan membaca artikel di bawah
Editor’s picks
ilustrasi merokok (IDN Times/Arief Rahmat) Senada, Kepala Riset dan Kebijakan Center for Indonesia's Strategic Development Initiative (CISDI) Olivia Herlinda menyatakan peralihan konsumsi ke rokok yang lebih murah dapat terjadi karena Indonesia menerapkan sistem cukai yang kompleks dan berlapis.
Saat ini, masing-masing segmen SKM, SPM, dan SKT memiliki layer tarif yang berbeda berdasarkan golongan produksi dengan perbedaan tarif antargolongan mencapai 40 persen. Padahal, ketika cukai rokok naik, maka diharapkan seluruh harga rokok naik dan terjadi perubahan perilaku berupa penurunan konsumsi yang pada akhirnya terjadi peningkatan kesehatan masyarakat.
"Namun, sekarang nyatanya perubahan perilaku yang terjadi adalah masyarakat memilih rokok yang lebih murah karena memang di lapangan masih ada produk rokok yang terjangkau akibat penerapan cukai pada layer bawah yang lebih rendah," kata Olivia.
Hal tersebut juga tercermin ketika pandemi COVID-19 saat ekonomi lesu dan masyarakat mengalami masalah finansial seperti pendapatan yang menurun. Faktanya, tidak ada perubahan konsumsi rokok, namun yang terjadi malah transisi ke produk rokok yang lebih murah.
Baca Juga: Di Balik Kenaikan Tarif Cukai Rokok